PERJALANAN MENUJU “PERADABAN”

Hai semua, lama ga nongol melalui tulisan. Akhir-akhir ini aku lagi terlibat aktif bersama sebuah tim untuk menyebarkan hal-hal positif, dan aku cukup senang terlibat di dalamnya karena dipaksa terus belajar hal-hal baik. Maaf belum nerusin tulisan laporan jalan-jalanku, hati “nggrantes” rasanya tiap inget kisah keluyuran terdahulu, pengen jalan lagi tapi situasi belum memungkinkan (geer banget kalo banyak orang yang bakal nungguin ceritaku, sadar woe, ga ada jugak yang nungguiiiinnnn!!!)

Kali ini aku pengen bercerita gimana perjalanan spiritualku. Bukan, ini bukan kisah seorang wanita shaliha yang tekun beragama. Ini kisahku, kisah seorang manusia yang tetiba mempertanyakan keberadaan dirinya dan agama. Kisah seorang anak yang meyakini bahwa Tuhan ada, namun meragukan validitas agama. Ya, itulah aku, yang sempat menganggap esensi agama tidak ada, yang ada hanya Tuhan yang Maha Baik dan menyuruhku untuk berbuat baik. Salah?? Ternyata tidak sepenuhnya salah. Sebelum kalian menganggap ini kisah pembenaran paham agnostik, ada baiknya baca dulu sampe kelar, baru berikan penilaian.

Aku terlahir di keluarga yang taat beragama. Meskipun begitu, ayahku sangat demokratis, dan selalu menyuruhku mencari “Tuhan”ku sendiri. Tidak pernah terlewat sehari pun bersama beliau tanpa diselingi diskusi logika. Ya, beliau berusaha menanamkan logika padaku. Beliau selalu bilang bahwa agama itu logis, selalu sejalan dengan akal. Makin bertambah usiaku, makin sibuk aku dengan urusanku sendiri. Aku tinggal jauh dari beliau, sehingga diskusi kami makin jarang. Sampai saatnya beliau berpulang, padahal aku merasa belum menemukan apa yang beliau amanahkan, yaitu “Tuhan”.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai meyakini Tuhan itu tidak terbatas pada agama. Aku benar-benar percaya keberadaan Tuhan, tapi aku bersikap skeptis terhadap agama. Agama hanya sebatas “partai politik”, yang mencari pengikut sebanyak-banyaknya, agar mencapai tujuannya di dunia. Hal itu bukan tanpa alasan. Aku melihat agama-agama penuh noda keegoisan manusia. Agama menjadi alasan manusia tidak memanusiakan orang lain. Lalu aku pun bertanya, “Apa esensi beragama? Karena hakikat ber-Tuhan adalah berbuat baik kepada sesama makhluk”.

Akhirnya aku menjadi makhluk yang “tidak beragama”. Ya di KTP aku tetep beragama (kalo ga beragama tar ga bisa jadi WNI dong gaiz), tapi secara ritual tidak. Agamaku adalah kebaikan, meskipun ga selalu baik setiap waktu)

Semua aturan keagamaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan kebaikan terhadap makhluk lain aku singkirkan. Ya, menurutku itu tidak esensial. Buat apa ibadah terus-terusan sampe lutut lecet tapi menghalalkan darah manusia lain?? Buat apa menghindari barang haram tapi dimabukkan oleh fanatisme sempit dan menganggap dirinya yang paling suci?? Hakikat “mabuk” menurutku bukanlah minum miras, tapi hilang kesadaran dan identitas diri sebagai bagian dari ciptaan Tuhan, yang jelas diberi tugas untuk berbuat baik di muka bumi.

Semakin lama aku tidak meyakini konsep agama, membawaku mempertanyakan tujuan Tuhan menciptakan alam semesta. Kenapa sih Tuhan menciptakan manusia dengan akal dan nafsunya? Kenapa Tuhan membuat scenario kehidupan seperti ini? Apakah Tuhan sedang iseng dan ingin main rumah-rumahan? Aku yakin pemikiranku salah, karena Tuhan Yang Maha Baik tidak mungkin iseng dan menciptakan kesengsaraan. Hal ini membuatku mempertanyakan kebenaran logikaku. Dari sinilah titik balik pencarianku dimulai.

Aku sering bertanya di forum-forum socmed dengan nama anonym, mempertanyakan tujuan Tuhan menciptakan manusia. Kenapa anonym? Apakah aku takut? Ya, aku takut terhadap justifikasi manusia beragama yang sedang “mabuk”, aku takut orang-orang tercintaku akan menghadapi penghakiman dari khalayak jika tau orang terdekatnya tidak memiliki keyakinan yang sama dengan kebanyakan orang. Aku takut pikiran kritisku akan diputus, digantikan dogma “pokoknya”. Dan memang kenyataannya begitu, semua yang melihat atau mendengar pertanyaanku akan bergidik dan menghakimiku dengan berbagai sebutan yang…ah, sudahlah…untungnya aku pake akun anonym, hahahahaha…

Forum-forum tersebut tidak pernah menjawab inti dari pertanyaanku, dan karena minimnya kesempatan diskusi yang diberikan, aku menyerah. Pertanyaan itu masih berakar di kepalaku, tidak sekalipun hilang. Setiap aku menanyakan ke orang yang kukenal, mereka menyuruhku segera memohon ampunan kepada Tuhan. Kenapa harus meminta ampunan karena sedang menggunakan akal?? Hal ini tidak bisa kuterima, yang membuatku makin jauh dari teman-temanku yang taat beragama.

Ada seorang teman, kami sangat jarang bertemu, tapi dia selalu mengawali chat denganku dengan ucapan-ucapan sederhana. Dia orang yang taat beragama, sering mengikuti pertemuan keilmuan tentang agama. Dia tinggal di tempat yang jauh dariku, sehingga aku tidak terlalu tau kabarnya. Suatu hari dia memberikan aku link suatu presentasi keilmuan agama. Entah dari mana, dia bilang “Kamu bisa tanya apa aja Nira, ga usah takut, ga nyambung sama tema pembicaraan juga gapapa, peserta pertemuan seneng banget ndengerin pertanyaan peserta lain dan jawaban dari narasumbernya.”

Mungkin Tuhan Yang Maha Baik itu sedang mengirimkan seseorang untuk menuntunku, karena Dia sudah tau aku mulai lelah dan sebentar lagi menyerah. Entah ada niat dari mana juga, aku masuk dalam forum itu, awalnya aku belum bertanya, namun sahabatku itu terus mengusikku untuk bertanya.

Lalu aku memberanikan diri menuliskan pertanyaan, yang menjadi milestone pertamaku “kembali” kepada agama.

“Mengapa Tuhan menciptakan manusia?” tulisku dalam forum itu.

“Pertanyaannya perlu saya koreksi, yang benar adalah, ‘mengapa manusia diciptakan?’” Narasumbernya menjawab demikian.

Sekilas aku bingung apa maksud dari pernyataan beliau, tapi beliau langsung melanjutkan, “Ketika kita menjadikan Tuhan sebagai subjek, maka kita beranggapan Tuhan lah yang membutuhkan penciptaan manusia. Kenyataanya tidak, manusialah yang butuh, dan manusia diciptakan untuk menghamba, karena mereka butuh.”

Jawaban ini di luar perkiraanku, karena selama ini aku menjadikan Tuhan sebagai subjek yang memerlukan penciptaan manusia, kenyataannya sebaliknya. Sesederhana itu dan membuat aku sekian lama menyimpan prasangka terhadap Tuhan Yang Maha Baik. Setelah menjawab dengan mukadimah itu, beliau melanjutkan dengan pendekatan logika dan filsafat. Komentar peserta lain dalam forum tersebut sangat positif. Tidak ada 1 komentar pun yang menyuruhku segera mohon ampun maupun mengisyaratkan aku adalah manusia yang tersesat. Betapa otakku yang mendidih ini seperti mendapatkan siraman air sejuk, jadi adem. Sejak saat itu aku sering berkunjung dan meninggalkan pertanyaan.

Pertanyaan yang menjadi milestone kedua adalah, “Mengapa kita harus beragama? Apa esensi agama itu?”

“Esensi dari agama adalah peraturan. Seluruh manusia perlu untuk beragama agar beradab. Semakin sempurna peraturan suatu negara, semakin beradab negara tersebut. Seperti itu juga manusia, kita butuh peraturan, agar hidup kita beradab.” Sang narasumber menyampaikan jawabannya.

Kalimat itu membuatku tersadar, aku sebaiknya beragama agar menjadi manusia beradab, tidak cukup hanya dengan ber-Tuhan. Lebih persisnya, aku BUTUH memiliki agama. Lagi-lagi sesederhana itu. Tuhan Yang Maha Baik membuka hatiku dengan secepat kedipan mata. Kalau meminjam bahasa kitab suci, “Jadi, maka terjadilah”, itu yang seketika aku rasakan.

Tuhan mengembalikan aku kepada-Nya dengan cara yang sangat halus, sangat indah, sangat masuk akal, tanpa paksaan, tanpa penghakiman. Aku benar-benar bersyukur menjadi manusia berakal, yang menggunakannya untuk mencari Tuhan dan kebenaran.

Oia, jawaban narasumbernya ga sesingkat yang aku tulis lho ya, beliau menjelaskannya dengan terperinci, membedahnya satu-persatu dengan logika, yang dengan keterbatasan lisanku ga bisa aku jelasin di sini. Terima kasih kepada saudaraku, DEA DAVITA DEWI, yang sudah sangat persisten menggandeng tanganku. Maaf, tapi namamu memang WAJIB masuk dalam tulisan ini.