Usiaku Berhenti di 20 Tahun…

Pasti orang yang membaca headline tulisan ini menganggap aku kekanak-kanakan, umur kok ga mau nambah. Tapi memang, somehow usiaku berhenti di angka itu, setidaknya itu yang selalu ada di dalam kepalaku.

Menurut sudut pandang beberapa kalangan, usia 21 tahun adalah simbol kedewasaan, di mana seseorang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Aku salah satu penganut paham itu. Usia 18 tahun menurutku belumlah pas, mau ngapain sih kita di umur 18 tahun? Umur segitu aku masih semester 2 atau 3 di bangku kuliah, yang masih clingak-clinguk kebingungan kalo ngadepin masalah.

Kenapa aku memilih 20 tahun untuk menghentikan umurku ya? Kenapa ga 21 tahun aja? Jadi kan udah bisa bebas menentukan nasib diri sendiri, udah bisa tanda tangan informed consent juga. Kenapa????

Aku berusaha menelaah kejadian di tiap usiaku. Aku tidak ingat setiap momen. Ada banyak kenangan yang diingat oleh temenku tapi aku sendiri ga inget blas. Mungkin otakku –yang diciptakan secara luar biasa oleh Yang Maha Luar Biasa- ini berusaha melindungi diriku dari hal-hal yang tidak perlu diingat.

Let me show you some memorable moments in my life….

Pada umur 17 taun, lebih dikit, aku diterima di salah satu universitas negeri di Indonesia melalui jalur UMPTN (kalo ga salah waktu tahun 2005 itu namanya SPMB, sekarang jadi SNMPTN, ga tau taun depan ganti nama jadi apa lagi). Widiiiiwww, jaman itu seneeeeeng banget bisa masuk universitas negeri dengan jalur wajar dan biaya murah. Jurusannya ga penting, yang penting masuk universitas negeri, hahahaha…. Ketika berita bahagia itu sampai ke telinga Walid (Bapak) dan Ummah (Ibu) ku, mereka gembira banget. Sudah kebiasaan di rumah kami, hadiah BUKAN merupakan iming-iming dalam pencapaian prestasi. Senyum dan tangis haru mereka sudah cukup membuat aku tau kalo mereka bener-bener menghargai usaha dan pencapaianku.

Masih di usia yang sama, tiba-tiba muncul sebuah telepon genggam di hadapanku. Aku bener-bener kaget. Seperti yang aku bilang tadi, hadiah untuk perayaan keberhasilan bukan merupakan suatu yang wajar di keluargaku. Ya, Walidku membelikan sebuah telepon genggam untukku, hape pertamaku. Ummahku hanya tersenyum melihatnya. Aku tau, pasti mereka sudah bersekongkol merencanakan hal ini di belakangku.

Usia 18-19 tahun, aku mulai menciptakan duniaku. Ya, dunia di mana aku berusaha eksis di dalamnya. Gabung BEM, ikutan ROHIS, Cosplay-ing, nyoba-nyoba ke markas organisasi masyarakat, gabung ke organisasi internasional, dll. Aku berusaha mencari tempatku menunjukkan potensi. Aku melupakan orang tuaku. Aku jarang pulang ke rumah, jarang menelepon mereka. Selalu mereka yang meneleponku lebih dulu, padahal hape juga boleh dapet dari dibeliin sama ortu. Kalo aku ingat masa itu, aku ngerasa jadi anak paling durhaka sedunia. Ya, aku durhaka. Aku sadar mereka selalu menangis ketika mendoakanku di sujud-sujudnya yang panjang di sepertiga akhir malam. Aku tau persis ungkapan rindu dan sayang selalu terlontar dari mulut mereka ketika mendapat kesempatan berbicara denganku melalui telepon. Aku tau, tapi entah kenapa aku tidak peduli. Aku terlalu sibuk memikirkan diriku sendiri, memikirkan eksistensiku di dunia, memikirkan bagaimana aku bertumbuh dewasa, tapi lupa jika kedua orang tuaku pun makin menua.

Di usiaku ke-20 tahun, kakakku mendapat musibah, suaminya meninggal dunia. Aku seperti mendapat tamparan keras saat itu. Di mana aku selama ini? Mengapa aku hilang dari keluarga? Apakah aku benar-benar merasa tidak lagi membutuhkan mereka? Jawabannya jelas, aku sangat butuh keluargaku. Kakakku yang masih sangat muda itu mendapat hantaman luar biasa. Rupanya aku masih punya hati, aku masih sayang kakak-kakakku. Perhatianku kucurahkan padanya, pada kedua anaknya yang masih kecil. Dan bodohnya aku, aku masih lupa pada orang tuaku.

Di usia 20 taun ini, aku makin jarang pulang. Kuliah sudah tidak sesibuk semester sebelumnya, tapi entah kenapa aku lebih menikmati waktu bermain bersama teman-temanku; cosplay dan persiapannya, traveling, makan-makan, dll. Walidku cukup sering menelepon, Ummahku tidak bisa menggunakan telepon genggam, sehingga beliau hanya berbicara sejenak denganku di telepon jika Walidku memberikan teleponnya. Kadang aku merasa geli, lucunya mereka berebut telepon hanya untuk berbicara dengan si bungsu yang durhaka ini.

Menjelang pergantian usiaku, beberapa minggu sebelum hari lahirku, pada akhir November 2008, saat aku akan mengantar temanku mencari komputer untuk kepentingan kuliahnya…ya, aku ingat persis semua kejadian itu- aku mendapat telepon yang mengguncang dunia beserta seluruh isinya di hadapanku. Walidku, sosok yang sejak kecil menjadi template perilakuku, jatuh tak sadarkan diri dan dilarikan ke rumah sakit. Aku hancur saat itu. Aku menyesal, kenapa 2 minggu belakangan aku tak mengunjunginya sekalipun. Setiap hari aku berdoa agar diberi kesempatan berbakti, agar diberi kesempatan menikmati waktu bersama beliau lagi….

Tuhan Maha Baik…Tuhan tak mengijinkan aku menyakiti hati beliau lebih jauh. Tuhan memanggil beliau, tepat 20 hari sebelum ulang tahun ke-21 ku.

Entah bagaimana, di luar sana waktu terasa begitu cepat, tapi tidak dalam diriku. Aku merasa usiaku tetap di angka 20 tahun. Aku tidak pernah beranjak dari usia itu. Setiap bertemu orang dengan usia 21 tahun dan selebihnya, aku selalu merasa lebih muda dibandingkan mereka, meskipun aku tau pasti, usiaku sudah jauh dari angka itu.

Saat ini aku tak mau mengulangi kesalahan yang sama. Dengan menuliskan kejadian ini, aku pengen ngingetin diriku sendiri, ada seorang lagi, jauh di sana, di kampung halamanku, sedang menungguku dengan kasihnya. Dengan doanya yang tiada henti melepasku di sini. Yang dengan ridhonya-lah Tuhan akan memberikan ridho-Nya padaku. Ummahku…

H3!ji-Q(328)Image(133) - Copy

(poto Mommy n Daddy, ini poto diambil pake kamera VGA, hape nokiyem 6600, yang waktu itu udah kece abis)

 

Dengan umur yang berhenti di angka 20, semoga aku bakal tetep punya semangat muda yang sama. Meski dengan umur yang mentok di angka 20, pengalaman selama waktuku berhenti ini tidak akan sia-sia…