Memories of Bali

Kisah dari Sebuah Perjalanan

Perjalanan saya ke bogor kali ini mengandung banyak tragedi, mulai dari sebelum pemberangkatan, hingga akhirnya touch down tempat tujuan. Dengan dibekali naluri last-minuter level Dewa Matahari, saya ketimpa “bejo” sepanjang perjalanan.

Tapi bukan “kebejoan saya” yang mau saya share di sini. Kalo saya share hal itu, yakin deh ada orang yang tiba2 komentar “sukurin” atau “kasian deh lo” di bawah teks ini 😀

Ini adalah kisah seseorang yang –lagi2 kebetulan dari Allah- saya temui dalam bus. Seorang pria paruh baya yang berprofesi sebagai supir bus antar kota antar propinsi, yang menjadi teman duduk di sebelah saya sepanjang perjalanan di bus. Dia baru menjalani profesinya selama 3 tahun, namun trayeknya tak perlu ditanyakan lagi. Jawa, Madura, Sumatera telah dihajarnya.

Sebut saya Bapak A. Bapak A adalah seorang suami dari satu orang istri dan ayah dari 3 orang anak. Seperti yang saya bilang tadi, Bapak A sekarang adalah seorang pengemudi bus, sedangkan Ibu A bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar. Mereka menikah di usia yang sangat muda, waktu itu Bapak A muda berusia 18 tahun, dan Ibu A muda berusia 14 tahun, karena gaya berpacaran mereka –saat itu- dianggap tidak sesuai norma (saya  langsung mikir, lha kalo jaman sekarang masih kaya gitu, lama-lama anak SMP diijinkan berstatus menikah). Mereka memulai semuanya dari 0, karena memang bukan berasal dari keluarga yang berada.

Bapak dan Ibu A dikaruniai 3 orang anak. Satu orang anak perempuan dan 2 orang anak laki-laki. Saat anak-anak mereka masih kecil, Bapak A, yang bertanggungjawab atas perekonomian keluarga, menjadi seorang sales pakaian grosir. Pekerjaan tersebut menuntutnya untuk selalu ke luar kota. Hingga suatu ketika usaha pengumpulan modal berhasil, dan dia mulai merintis usaha mandirinya. Kali ini dia memiliki barang dagangan dan mendistribusikannya sendiri. Hasilnya lumayan, keluarganya pun hidup berkecukupan. Bapak A memiliki beberapa orang karyawan, yang bekerja seperti dirinya dulu kala.

Godaan dunia mulai datang. Dengan uang yang cukup banyak di saku dan mudahnya akses pergi ke luar kota, dia mulai bermain wanita, alkohol, dan judi. Fokusnya teralihkan. Karyawannya tak terawasi. Keluarganya terabaikan. Istri dan anak-anaknya di rumah tak lagi mendapatkan perhatian yang cukup darinya. Keluarga itu pun tak lagi seharmonis ketika masih hidup seadanya. Sampai pada suatu ketika, bisnis yang ditekuninya sejak dulu poranda. Di samping perilakunya menghambur-hamburkan uang, karyawan-karyawannya juga tidak bekerja seperti yang dia harapkan. Barang dagangannya habis, sedangkan uang tak terkumpul. Bapak A mengalami kebangkrutan.

Dengan berbekal kenalannya semasa menjalani bisnis pakaian, Bapak A membukakan kios pakaian di pasar bagi istrinya untuk menyambung hidup keluarga itu. Perekonomian yang menurun drastis dan hilangnya kepercayaan dari sang istri tampaknya merupakan tamparan keras bagi Bapak A, dia pun berjanji tak akan mengulangi kesalahannya yang serupa. Dengan sikap ulet Bapak dan Ibu A, ketiga anaknya mampu menyelesaikan pendidikan yang cukup tinggi. Anaknya yang pertama menjadi guru di sebuah SMA swasta di daerahnya, dengan gelar S2 di tangan. Anak keduanya menjadi teknisi salah satu perusahaan otomotif terkemuka di Indonesia. Dan anak ketiganya menjadi salah seorang kru pertambangan di lepas pantai Batam.

Bapak A lama-lama menjadi bosan terus-menerus berada di rumah dan membiarkan istrinya menjadi tulang punggung keluarga. Akhirnya Bapak A mengambil keputusan untuk mencari pekerjaan yang bisa dilakukan dan mengobati rasa bosannya. Menjadi supir bus AKAP, itulah yang dipilihnya. Memang anak-anaknya kini telah memiliki kehidupan yang cukup, dan tentunya bisa menopang hidup kedua orang tua. Namun hidup menjadi tanggungan orang lain itu bukanlah pilihan yang mau diambil Bapak A. Ibu A, yang tak bisa memulihkan kepercayaannya pada sang suami, tidak terlalu setuju dengan hal ini. Namun entah bagaimana, akhirnya Bapak A mendapatkan jalan untuk menjalani pekerjaan baru itu.

Bapak A mengaku sekarang sudah menghentikan semua kebiasaan buruknya, meski sang istri sering kali tidak memercayainya. Ada satu hal yang dikatakannya berulang-ulang dengan menatap ke luar jendela, “Kepercayaan wanita, jika sudah hilang, tak mungkin kembali”.

Mungkin ini adalah kisah klise yang banyak ditayangkan di serial salah satu stasiun TV. Mungkin kisah ini dipandang tak layak tulis bagi para penulis. Mungkin tulisan ini membosankan dengan banyaknya fokus di dalamnya yang tidak mendalam. Namun saya tetap ingin membagikannya kepada sesobatan, sekedar untuk mengingatkan; Uang memang salah satu hal yang dapat membawa kebahagiaan, namun bukan satu-satunya. Kepercayaan adalah harta yang tak ternilai, yang sayangnya sangat rapuh, mudah hilang, dan sulit mendapatkannya kembali.